Pemanfaatan Kulit Pisang (Musa paradisiaca) Sebagai Shampo Alami

Kulit pisang, selama ini oleh sebagian besar masyarakat kalau tidak dibuang pemanfaatannya baru sekadar untuk  makanan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau.
Dari fakta tersebut mahasiswa Prodi Kimia FMIPA UNY yaitu Wijayanti, Danish Oktaviana, Annisa Sholihahwati membuat inovasi yaitu kulit pisang tersebut di buat sampo alami.
Ketua tim, Wijayanti menjelaskan, Kulit pisang merupakan salah satu bahan alami yang di dalamnya terkandung 14,28 % kalium. Potensi kandungan kalium ini dapat dikembangkan untuk pembuatan shampo alami. Kulit pisang yang telah dijemur hingga kering kemudian dibakar sampai terbentuk bara. Bara tersebut kemudian direndam dengan  menggunakan  air  bersih  selama  7  hari  sehingga  akan  menghasilkan cairan basa yang dapat digunakan sebagai shampo. Kalium yang membentuk spesi  basa  ini  akan  bereaksi  dengan  pengotor  rambut  seperti  keringat  yang bersifat asam sehingga akan terjadi reaksi penetralan.
Diungkapkan Wijayanti, shampo dari kulit pisang ini dibuat dari kulit pisang raja dan kulit pisang kepok. Kedua jenis tersebut dipilih karena cukup mudah diperoleh. Peneltian  tahap  pertama  adalah  pembuatan  shampo  dari  kulit pisang raja. Prosedur pertama yang dilakukan adalah memilih kulit pisang yang baik. Kulit pisang yang dipilih adalah kulit pisang yang belum berjamur.
Pada pembuatan shampo ini, kulit pisang yang digunakan sebanyak 2 kilogram berat kulit pisang basah. Setelah itu, kulit pisang dibersihkan dan dijemur di bawah sinar matahari  langsung  agar  dapat  kering  sempurna  untuk  mempermudah proses pembakaran. Berat kulit pisang yang sudah kering adalah sekitar 700 gram.
Langkah selanjutnya adalah membakar kulit pisang tersebut. Kulit pisang yang telah terbakar dan menjadi bara segera dimasukkan ke dalam ember berisi 2 liter air. Rendaman tersebut dibiarkan hingga 7 hari. Setelah 7 hari, tampak cairan berwarna cokelat kehitaman. Warna hitam disebabkan oleh arang kulit pisang, sehingga harus dilakukan penyaringan. Filtrat  yang  dihasilkan  kemudian  diberi  arang  aktif  yang  diharapkan mampu menjerap  warna cokelat sehingga tampilan warna lebih jernih. Setelah dibiarkan selama 2 hari, warna cairan menjadi kekuningan. Cairan ini terasa sangat licin. Cairan tersebut yang nantinya digunakan sebagai shampo. Langkah selanjutnya adalah menguji pH shampo tersebut. Dari pengujian diketahui bahwa pH shampo adalah 11,5 yang berarti bahwa shampo tersebut basa.
Penelitian tahap kedua menurut Wijayanti adalah pembuatan shampo dari kulit pisang kepok.   Prosedur   dan   jumlah   bahan   yang   digunakan   sama   dengan pembuatan shampo dari kulit pisang raja. Namun, pada penelitian kedua ini tidak menggunakan arang aktif karena cairan yang dihasilkan tidak terlalu berwarna cokelat dan tidak terlalu keruh. pH dari shampo kulit pisang kepok ini adalah 11 yang juga berarti bahwa produk bersifat basa.
“Setelah   kedua   jenis   shampo   selesai   diuji   secara   kimiawi, selanjutnya adalah melewati pengujian organoleptik dan penerimaan masyarakat. Uji organoleptik merupakan uji berdasarkan indera manusia. Untuk produk shampo kulit pisang ini, parameter yang diuji adalah warna dan  bau.  Dari  hasil  pengujian,  warna  kedua  jenis  shampo  cenderung kuning kecokelatan sedangkan untuk uji bau dinyatakan tidak berbau,” lanjutnya.
Uji   penerimaan   masyarakat   menggunakan   9   panelis.   Panelis tersebut diminta mencoba kedua produk shampo yang dihasilkan. Setelah itu, panelis diminta mengisi angket yang menyatakan tangapan mereka terhadap shampo tersebut. Dari pengujian tersebut diperoleh data bahwa shampo yang lebih diminati oleh panelis adalah shampo dari kulit pisang raja, yaitu dipilih oleh 6 orang dari 9 orang panelis. Warna shampo ini adalah kekuningan dengan pH 11,5. Kedua jenis shampo ini tidak berbau dengan tekstur licin. (witono)